Secara
harafiah fraud didefenisikan sebagai kecurangan, namun pengertian ini
telah dikembangkan lebih lanjut sehingga mempunyai cakupan yang luas. Black’s
Law Dictionary Fraud menguraikan pengertian fraud mencakup segala
macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang, untuk
mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan saran yang salah atau pemaksaan
kebenaran, dan mencakup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat. Licik,
tersembunyi, dan setiap cara yang tidak jujur yang menyebabkan orang lain
tertipu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa fraud adalah perbuatan
curang (cheating) yang berkaitan dengan sejumlah uang atau properti.
Berdasarkan
defenisi dari The Institute of Internal Auditor (“IIA”), yang dimaksud
dengan fraud adalah “An array of irregularities and illegal acts
characterized by intentional deception”: sekumpulan tindakan yang tidak
diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan adanya unsur kecurangan yang
disengaja.
Webster’s
New World Dictionary mendefenisikan fraud sebagai suatu pembohongan atau penipuan (deception)
yang dilakukan demi kepentingan pribadi, sementara International Standards
of Auditing seksi 240 – The Auditor’s Responsibility to Consider Fraud
in an Audit of Financial Statement paragraph 6 mendefenisikan fraud sebagai
“…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, pihak yang
berperan dalam governance perusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang
melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil
atau illegal”.
Apapaun itu
defenisinya, menurutku fraud tetaplah fraud, dimanapun itu
dilakukan, baik dilingkungan swasta maupun di sektor publik. Motifnya sama,
yaitu sama-sama memperkacaya diri sendiri/golongan dan modus operandinya sama,
yaitu dengan melakukan cara-cara yang illegal.
Tipologi
Fraud
Association
of Certified Fraud Examiners (“ACFE”) di Amerika serikat menyusun peta mengenai fraud.
Peta ini berbentuk pohon, dengan cabang dan ranting. Tiga cabang utama dari fraud
tree ini adalah Corruption, Asset misappropriation dan fraudulent
statement. Turunannya lebih jauh dapat dilihat dalam gambar dibawah.
Ada enam ranting yang muncul dari cabang corruption.
Bandingkan ini dengan 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi dalam
ketentutan perundang-undangan Indonesia. Cabang kedua adalah Asset
Misappropriation yang dapat diartikan secara bebas sebagai penjarahan
kekayaan perusahaan atau lembaga. Kita bisa membayangkan banyaknya jenis fraud
dalam cabang ini, mulai dari pencurian uang secara terbuka (larceny),
pencurian dan penyalahgunaan (misuse) harta lembaga, sampai pada larceny
secara tidak langsung (rekening bank atas nama pejabat). Cabang ketiga (Fraudulent
Statement) merupakan fraud yang dilakukan dengan menggunakan
cara-cara akuntansi seperti earning managemen dan, windows dressing.
Kausus Enron merupakan contoh nyata dari tipe Fraud ini.
Sedangkan
Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime.
Ini jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak yang mempunyai
keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak lain. Cybercrime juga
akan menjadi jenis fraud yang paling ditakuti di masa depan dimana
teknologi berkembang dengan pesat dan canggih.
Motivasi
Melakukan Fraud
Pada
umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara
bersama, yaitu:
- Insentif atau tekanan untuk
melakukan fraud
- Peluang untuk melakuakn fraud
- Sikap atau rasionalisasi untuk
membenarkan tindakan fraud.
Ketiga
faktor tersebut digambarkan dalam segitiga fraud (Fraud Triangle)
berikut:
Opportunity biasanya muncul
sebagai akibat lemahnya pengendalian inernal di organisasi tersebut. Terbukanya
kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau kelompok yang sebelumnya
tidak memiliki motif untk melakukan fraud.
Pressure atau motivasi pada sesorang atau
individu akan memebuat mereka mencari kesempatan melakukan fraud, beberapa
contoh pressure dapat timbul karena masalah keuangan pribadi,
Sifat-sifat buruk seperti berjudi, narkoba, berhutang berlebihan dan tenggat
waktu dan target kerja yang tidak realistis.
Rationalization terjadi karena seseorang mencari
pembenaran atas aktifitasnya yang mengandung fraud. Pada umumnya para
pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan
suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang merupakan haknya, bahkan
kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk
organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana pelaku
tergoda untuk melakukan fraud karena merasa rekan kerjanya juga
melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas tindakan fraud
tersebut.
Faktor
Pemicu Fraud
Terdapat
empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga
dengan teori GONE, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan),
Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan).
Faktor Greed
dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku
kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan
Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai
korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).
1. Faktor
generic
Kesempatan (opportunity) untuk
melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku terhadap objek
kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap
kedudukan. Namun, ada yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang kecil.
Secara umum manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang
lebih besar untuk melakukan kecurangan daripada karyawan.
Pengungkapan
(exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan
tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena
itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya
terungkap.
2.
Faktor individu
- Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
- Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need),
yang lebih cenderung berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan
pegawai/pejabat yang terkait dengan aset yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi
tempat ia bekerja. Selain itu tekanan (pressure) yang dihadapi dalam
bekerja dapat menyebabkan orang yang jujur mempunyai motif untuk melakukan
kecurangan.
Gejala
Adanya Fraud
Fraud (Kecurangan) yang dilakukan oleh
manajemen umumnya lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh
karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang menunjukkan adanya
kecurangan tersebut, adapun gejala tersebut adalah:
1.
Gejala kecurangan pada manajemen
- Ketidakcocokan diantara manajemen puncak;
- Moral dan motivasi karyawan rendah;
- Departemen akuntansi kekurangan staf;
- Tingkat komplain yang tinggi terhadap
organisasi/perusahaan dari pihak konsumen, pemasok, atau badan otoritas;
- Kekurangan kas secara tidak teratur dan
tidak terantisipasi;
- Penjualan/laba menurun sementara itu utang
dan piutang dagang meningkat;
- Perusahaan mengambil kredit sampai batas
maksimal untuk jangka waktu yang lama;
- Terdapat kelebihan persediaan yang
signifikan;
- Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal
penyesuaian pada akhir tahun buku.
2.
Gejala kecurangan pada karyawan/pegawai
- Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa
otorisasi manajemen dan tanpa perincian/penjelasan pendukung;
- Pengeluaran tanpa dokumen pendukung;
- Pencatatan yang salah/tidak akurat pada
buku jurnal/besar;
- Penghancuran, penghilangan, pengrusakan
dokumen pendukung pembayaran;
- Kekurangan barang yang diterima;
- Kemahalan harga barang yang dibeli;
- Faktur ganda;
- Penggantian mutu barang.
Perilaku
Pelaku Fraud
Berikut
merupakan beberapa perilaku seseorang yang harus menjadi perhatian karena dapat
merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang tersebut, yaitu:
- Perubahan perilaku secara
signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya, gaya hidup
mewah, mobil atau pakaian mahal;
- Gaya hidup di atas rata-rata;
- Sedang mengalami trauma
emosional di rumah atau tempat kerja;
- Penjudi berat;
- Peminum berat;
- Sedang dililit utang;
- Temuan audit atas kekeliruan (error)
atau ketidakberesan (irregularities) dianggap tidak material ketika
ditemukan;
- Bekerja tenang, bekerja keras,
bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja sendiri.
-
Fraud
dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia dan Century Gate. Kedua kasus ini memiliki kesamaan, yaitu
sama-sama menggunakan dana talangan yang diberikan pemerintah yang seharusnya
untuk menyelamatkan kondisi modal perbankan namun dana tersebut oleh
manajemen malah diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau bisnisnya yang
lain.
Pengadaan
Barang dan Jasa.
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo pada Kongres ISEI 1993 memperkirakan
kebocoran keungan Negara sekitar 30% dari pengadaan barang dan jasa. Kerugian
ini bervariasi dari department ke department sampai ke tingkat pemerintah
daerah. JIka dilakukan penelitian untuk tahun-tahun sekarang ini kemungkinan
persentasenya akan lebih besar lagi, karena otonomi daerah membawa dampak
adanya raja-raja kecil di daerah yang menuntut bagian proyek pengadaan barang
dan jasa.
Penyediaan
Barang dan Jasa Publik. Teorinya pubic goods disediakan untuk masyarakat luas, tanpa
diskriminasi. Namun, berbagai faktor memberi peluang bagi pihak-pihak tertentu
untuk menikmati public goods seolah-olah itu merupakan private goods
bagi mereka. Contohnya saja jasa keamanan yang merupakan public goods
yang disediakan TNI/Polri dapat dinikmati oleh orang atau perusahaan yang
membayar harga yang tepat. Demikian pula dengan kendaraan, rumah dinas, dll
yang diakui sepihak menjadi hak milik pejabat sebelumnya.
Peran
Multinational Corporation (MNC). Potensi fraud yang melibatkan perusahaan atau pengusaha asing
biasanya terletak pada perizinan usaha pertambangan dan energi yang bisanya
diperoleh dengan cara-cara penyuapan. Apalagi pemerintah menerapkan production
sharing atas lokasi-lokasi pertambangan di tanah air yang sangat rentan
diselewengkan oleh para operator pertambangan.
Fraud pada Penerimaan Negara. Sebenarnya volume fraud
yang paling besar bukan terletak pada sisi pengeluaran tetapi justru pada
penerimaan Negara, tengok saja kasus Bahasim dan Gayus Tambunan yang meraup
kekayaan besar dalam waktu singkat hanya dengna menyelewengkan prosedur
perpajakan, atau membantu mengurangi jumlah pajak kiennya. Di pemerintah daerah
kasusnya lebih bergam lagi, mulai dari pemetongan sekian persen dari pencairan
anggaran, sampai setoran penerimaan yang banyak dipotong untuk peruntukan yang
tidak jelas.
Pencegahan
dan Pendeteksian Fraud
Dalam
mencegah dan mendeteksi serta menangani fraud sebenarnya ada beberapa
pihak yang terkait: yaitu akuntan (baik sebagai auditor internal, auditor
eksternal, atau auditor forensik) dan manajemen perusahaan. Peran dan tanggung
jawab msaing-masing pihak ini dapat digambarkan sebagai suatu siklus yang
dinamakan Fraud Deterrence Cycle atau siklus pencegahan fraud
seperti gambar dibawah ini.
Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang
dirancang dalam rangka mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan
terjadinya fraud. Corporate governance meliputi budaya
perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
Transaction
Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya adalah proses yang
lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk memastikan bahwa
hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat dan
melindungi perusahaan dari kerugian.
Retrospective
Examination
yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk mendeteksi fraud
sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
Investigation
and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah menentukan
tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan fraud,
tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap
kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam
laporan keuangan atau penyalahgunaan aset.
Mengapa
Pencegahan?
Keberhasilan
kegiatan memerangi fraud, setelah korupsi terjadi adalah suatu ironi
tersendiri dalam upaya penanggualan fraud karena semakin banyak
mendeteksi dan menyelesaikan kasus berindikasi fraud, bukan merupakan kondisi
umum yang dikehendaki masyarakat, sebab pada dasarnya kejadian fraud
bukanlah kejadian yang dikehendaki masyarakat.
Pencegahan
fraud bisa dianalogikan dengan penyakit, yaitu lebih baik dicegah dari
pada diobati. Jika menunggu terjadinya fraud baru ditangani itu artinya
sudah ada kerugian yang terjadi dan telah dinikmati oleh pihak terntu,
bandingkan bila kita berhasil mencegahnya, tentu kerugian belum semuanya
beralih ke pelaku fraud tersebut. Dan bila fraud sudah terjadi
maka biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar untuk memulihkannya daripada
melakukan pencegahan sejak dini.
Untuk
melakukan pencegahan, setidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan yaitu (1)
membangun individu yang didalamnya terdapat trust and openness, mencegah
benturan kepentingan, confidential disclosure agreement dan corporate
security contract. (2) Membangun sistem pendukung kerja yang meliputi
sistem yang terintegrasi, standarisasi kerja, aktifitas control dan sistem rewards
and recognition. (3) membangun sistem monitoring yang didalamnya terkandung
control self sssessment, internal auditor dan eksternal auditor
Peran
Internal Auditor
Pendeteksian
fraud oleh auditor internal merupakan salah satu peran dari kegiatan internal
auditing yang dijalankan dalam organisasi. Standards No. 1210.A2 menyatakan
sebagai berikut: “The internal auditor should have sufficient knowledge to
identify the indicators of fraud but is not expected to hace the expertise of a
person whose primary responsibility is detecting and investigating fraud”.
Merujuk
pada standar profesi diatas, auditor internal diharuskan memiliki
pengetahuan yang cukup untuk mendeteksi adanya indikasi fraud dalam
organisasi. Pengetahuan yang harus harus dimiliki auditor internal
termasuk pula pengetahuan mengenai karakteristik fraud, teknik-teknik
yang digunakan dalam melakukan fraud, dan jenis-jenis fraud yang
mungkin terjadi pada berbagai proses bisnis.
Auditor
internal
bertanggung jawab dalam mendeteksi fraud yang mungkin telah terjadi sedini
mungkin, sebelum memebawa dampak yang lebih buruk pada organisasi. Pendeteksian
tersebut dapat dilakukan pada saatmenjalankan kegiatan internal auditing.
Pada saat melakukan audit, auditor internal dapat memfokuskan diri pada
area-area yang memeiliki risiko tinggi terjadinya fraud seperti transaski kas,
rekonsiliasi bank, proses pengadaan, penjualan, dll.
Jika
auditor internal menemukan suatu indikasi terjadinya fraud dalam
organisasi, auditor internal harus melaporkannya kepada pihak-pihak
terkait dalam organsiasi tersebut, seperti audit committee. Auditor
internal dapat memberikan rekomendasi dilakukannya investigasi yang diperlukan
untuk menyelidiki fraud tersebut.
Dalam
sektor publik. Auditor internal dapat dilakukan oleh inspektorat di
masing-masing department dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
(“BPKP”) berdasarkan permintaan dari pemerintah. Teknis dan proses auditnya
tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di sektor swasta.
Peran
Eksternal Auditor
Dalam
melaksanakan tanggung jawab profesionalnya seorang auditor eksternal dibatasi
oleh standar-standar auditing yang berlaku. Tanggung jawab auditor sehubungan
dengan fraud dijelaskan secara umum dalam SA seksi 110 – Tanggung jawab dan
fungsi auditor independen paragraph 02: “Auditor bertanggung jawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang
apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan
oleh kekeliruan atau kecurangan”.
Tanggung
jawab auditor dalam mendeteksi fraud tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam
SA seksi 316 – pertimbangan atas kecurangan dalam audit laporan keuangan.
Berdasarkan SA Seksi 316 tersebut, auditor harus secara khusus menaksir risiko
salah saji material dalam laoran keuangan sebagai akibat dari kecurangan dan
harus memperhatikan taksiran risiko ini dalam mendesain prosedur audit yang
akan dilaksanakan. Prosedur audit mungkin berubah apabila terjadi fraud.
Selanjutnya
dalam SA Seksi 317 – Unsur tindakan pelanggaran hukum oleh klien, dijelaskan
bahwa apabila terjadi unsur tindakan pelanggaran hukum (termasuk fraud)
maka auditor akan mengumpulkan informasi tentang sifat pelanggaran, kondisi
terjadinya pelanggaran dan dampak potensialnya terhadap laporan keuangan.
Apabila dibutuhkan auditor dapat berkonsultasi dengan penasehat hukum dan
melakukan prosedur audit tambahan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang sifat pelanggaran yang terjadi. Terungkapanya fraud, yang
berrdampak pada denda dan kerugian, harus diungkapakan dalam catatan atas
laporan keungan. Lebih jauh lagi, bila fraud yang terjadi sangat
material dan bisa mempengaruhi kewajaran laporan keuangan, maka auditor tidak
dapat memberikan opini “wajar tanpa pengecualian”.
Pada
sektor public, yang menjadi auditor eksternal adalah Badan Pemerika keuangan
(“BPK”) berdasarkan UU No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan Negara. Dalam UU ini diatur bahwa BPK melaksanakan
pemeriksaaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keungan Negara. Pemeriksaan
tersebut terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Kebijakan
Anti Fraud
Beberapa
Perusahaan besar telah menyadari bahaya besar akibat fraud, mereka telah
melakukan perencanaan sedini mungkin terhadap pencegahan fraud ini.
Tengok saja Telkom Grup dan Astra Grup, kedua Perusahaan ini telah
mengantisipasi fraud yang diwujudkan dalam kebijakan anti fraud
yang diterapkan di dalam peruashaan.
1.
Telkom Group
Grup Astra
memberikan perhatian yang demikian besar dalam pengembangan praktek Good
Corporate Governance (GCG) dengan standar tinggi. Beberapa paket kebijakan
telah dibuat untuk mendukung GCG diseluruh Astra Grup yang dimonitor oleh
Komite Audit, Komite Renumerasi dan Nominasi, Komite Eksekutif, kelompok
Manajemen Resiko dan Departemen Audit Internal.
Untuk
memberikan petunjuk yang jelas dan bagaimana karyawan melaksanakan
tugas-tugasnya, Grup Astra telah membuat buku pedoman yang komprehensif, yaitu
“Pedoman Etika Bisnis dan kerja”, yang mencakup semua aspek dalam berhubungan
dengan pihak ketiga dan masyarakat luas secara bertanggung jawab dan
professional. Selain itu Astra juga mengeluarkan pedoman lainnya untuk
memberikan kepastian dan assurance bahwa seluruh aktivitas telah
menerapkan pola yang sesuai dengan GCG, pedoman-pedoamn itu yaitu: pedoman sistem
audit dan manajemen risiko, pedoman benturan kepentingan, peraturan mengenai
informasi orang dalam, pedoman kewajiban sosial perusahaan, pedoman manajemen
sumber daya manausia, pedoman direksi dan komisaris Astra, kebijakan pelaporan
atas pelanggaran etika, kebijakan atas penyampaian laporan tahunan dan
kebijakan transaksi material dan perubahan kegiatan usaha.
2.
Telkom Group
Sebagai
perusahan publik yang juga melantai di bursa internasional (NYSE dan LSE)
Telkom berupaya mewujudkan tata kelola perusahaan yang bersih sebagai mana
tuntutan dari aturan Sarbanes Oxley Act (SOA) yang dianut Telkom Grup.
Telkom secara berkala terus mengeluarkan berbagai program yang memastikan
kesempatan berbuat curang (fraud) itu tertutup. Didalam program anti fraud
tersebut terdapat code of ethics, whistleblower policy, organization
structure dan Human Resource Policy.
Program whistleblower yang diterapkan Telkom dimaksudkan untuk
menciptakan sebuah sistem yang memungkinkan perusahaan dapat melakukan deteksi
dini terhadap kemungkinan atau indikasi adanya fraud, dengan begitu Telkom
dapat secara lebih awal melakukan langkah-langkah koreksi dan mitigasi yang
diperlukan untuk mengamankan asset, reputasi dan risiko kerugian yang
mungkin timbul.
Selain itu
Telkom juga menerapkan Enterprise Risk Management (ERM) yang disusun
oleh COSO. Beberapa kebijakan yang dilakukan Telkom terkait penerapan ERM ini
antara lain: (1) peningkatan kebijakan melalui evaluasi, perbaikan,
peningkatan, distribusi dan kebijakan internal untuk mendukung pengelolaan
resiko; (2) Peningkatan pemahaman proses bisnis yang efektif melalui
penyederhanaan atau penghapusan proses bisnis yang kurang efektif; (3)
pelaksanaan pengkajian risiko dan langkah mitigasi yang meliputi inisiatif
startegis, RKAP, dan evaluasi diri atas pengendalian risiko seluruh unit; (4)
perlindungan asset melalui penyediaan informasi yang memadai dan akurat hingga
menciptakan efektifitas dan efisiensi proses bisnis serta kepatuhan terhadap
peraturan.
Hukuman atas pelaku Fraud d Indonesia
Hukuman atas tindak
pelanggaran berupa pemalsuan atau fraud di jelaskan pada Undang Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi.
Daftar Pustaka
- Arif Arryman dkk, Mengupas
Benang Kusut, Merajut Masa Depan. – Transformasi Tata Kelola Pelaporan
Keuangan Telkom Pasca SOA, 2010
- Association of Certified Fraud
Examiners, www.acfe.com
- Economics Business &
Accounting Review, volume II nomor 1, 2007
- International Standards of
Auditing
- Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
standar professional akuntan public
- The institute of Internal
Auditor, www.iia.com
- Undang-undang nomor 31 tahun 1999